Minggu, 12 Oktober 2014

corporate governance dan kualitas laba



Perkembangan perspektif corporate governance berawal dari adanya agency model atau agency theory.  Dalam model teory agency, principal yang bertindak sebagai pemilik perusahaan menyerahkan kewenangannya kepada agen. Dengan adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan maka kedua pihak tersebut memiliki kepentingan berbeda. Hal ini menimbulkan potensi konflik kepentingan antara pihak-pihak (principal dan agen) dalam perusahaan. Coporate governance muncul untuk mengendalikan perilaku dalam mengatasi konflik antara pihak-pihak dalam perusahaan. (Ndaruningpuri Wulandari 2006 dalam H.Meniek S. Prapti, 2003). Corporate governance merupakan seperangkat mekanisme yang mempengaruhi  keputusan yang dibuat manajemen ketika terjadi pemisahan atas  kepemilikan dan pengawasan (Amanita Novi Yushita, Rahmawati&Hanung Triatmoko 2013 dalam Larcker dkk,1995). Menururt Forum for Corporate Governance in Indonesia (FGCI) definisi corporate governance yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubugan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu system yang mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Laba merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja operasional perusahaan. Informasi tentang laba untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan bisnis dalam mencapai tujuan operasi yang ditetapkan (Wisnu Rupilu dalam Parawiyati, 1996). Baik kreditur maupun investor dapat mengukur dan mengevaluasi kinerja manajemen dengan mengguna kan laba, memperkirakan earning power dan untuk memprediksi laba dimasa yang akan datang. Kualitas laba dapat dilihat dari manfaat bagi pengambilan keputusan bisnis para pengguna laporan keuangan mauoun dari core earnings (Schiper and Vincent, 2003). Sedangkan dalam konteks riset akuntansi, pengukuran laba dititikberatkan pada manfaat bagi pengambilan keputusan bisnis para pemakai laporan keuangan (Dechow dkk., 2009). Laba yang kurang berkualitas bias terjadi karena dalam menjalankan bisnis perusahaan, manajemen bukan merupakan pemilik perusahaan. Pemisahan kepemilikan ini akan dapat menimbulkan konflik dalam pengendalian dan pengelolaan perusahaan yang menyebabkan para manajer bertindak tidak sesuai dengan keinginan para pemilik ( Dul Muid, 2009). Laporan keuangan merupakan salah satu informasi kuantitatif yang dibuat oleh perusahaa. Salah satu laporan keuangan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan adalah laba. Laba merupakan indicator yang dapat digunakan umtuk mengukur kinerja operasional perusahaan (Dul Muid 2009 dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006).

Dewan komisaris menggambarkan puncak dari system pengendalian pada perusahaan. Peran pengawasan oleh dewan komisaris ini diharapkan akan meminimalisir konflik keagenan yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Penelitian oleh Boediono (2005) yang menguji pengaruh mekanisme corporate governance  terhadap kualitas laba dengan menggunakan analisis jalur menemukan bukti bahwa dewan komisaris independen mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laba. Strukur governance di Indonesia memisahkan antara dewan komisaris dan dewan direksi. Jumlah dewan komisaris independen yang  disarankan adalah 20% dari jumlah total dewan komisaris yang berasal dari luar pemilik atau kalangan profesional. Berdasarkan UU No. 1 tahun 1995 tentang  Perseroan Terbatas, tugas dewan komisaris adalah : (1) mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan, dan (2) memberi nasehat kepada direksi direksi.

Komite audit bertanggungjawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal dan mengamati sistem pengendalian internal juga diharapkan dapat mengurangi sifat opportunistic  manajemen yang melakukan manajemen laba (earnings management. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good governance), Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) melalui Kep-339/BEJ/07-2001 mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki komite audit. Komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang inependen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.

Struktur kepemilikan dalam suatu perusahaan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam hal mengawasi atau memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang saham. Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Kepemilikan perusahaan dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme yang dapat mengendalikan masalah keagenan yang ada di suatu perusahaan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan adalah kepemilikan institusional. Adanya kepemilikan institusional di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan agar lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen. Penmgawasan yang dilakukan oleh investor institusional sangat bergantung pada besarnya investasi yang dilakukan. Semakin besar kepemilikan institusi keuangan maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan dari institusi keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan akan meningkat. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba. Menurut Boediono (2005) kepemilkan institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi intensif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui tingkat pengawasan yang intens.

Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Struktur kepemilikan manajerial dapat dijelaskan melalui dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan ketidakseimbangan. Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu instrument atau alat yang digunakan untuk mengurangi konflik keagenan diantara beberapa klaim terhadap sebuat perusahaan. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dengan outsider melalui pengungkapan informasi didalam perusahaan. Meningkatkan kepemilikan manajerial digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ada di perusahaan. Dengan meningkatnya kepemilikan manajerial maka manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya sehingga dalam hal ini akan berdampak baik kepada perusahaan serta memenuhi keinginan dari para pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi keinginan dari pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan, karena manajemen akan ikut merasakan manfaat secara langsung dari keputusan yang diambil. Selain itu manajemen juga ikut menanggung kerugian apabila keputusan yang diambil oleh mereka salah. Hal ini disebabkan karena jika tingkat kepemilikan manajeral tinggi, dapat berdampak buruk terhadap perusahaan karena menimbulkan masalah pertahanan, yang berarti jika kepemilikan manajerial tinggi, para manajer memiliki memiliki posisi yang kuat untuk melakukan suatu kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan para manajer tersebut.

            Ortega dan Grant (2003) mengemukakan bahwa earnings manajemen dimungkinkan karena adanya fleksibelitas dalam pembuatan laporan keuangan dalam rangka mengubah hasil keuangan operasional suatu perusahaan. Dengan kata lain, Abdelghani dalam Murhadi 2009 menjelaskan bahwa earnings management  merupakan manipulasi pendapatan yang dilakukan untuk memenuhi target yang ditetapkan manajemen. Earnings management dapat berfungsi positif bagi pemegang saham bilamana praktik earnings management tersebut dilakukan untuk menginformasikan hal-hal yang belum terkandung dalam laporan keuangan perusahaan. Namun, disisi lain, earnings management  juga dapat digunakan oleh pihak manjemen yang apat merugikan kepentingan pemegang saham seperti dalam bentuk manipulasi kinerja agar memperoleh kontrak kerja dan kompensasi sehingga akan muncul konflik keagenan antaa manajemen dan pemegang saham. Menurut Murhadi 2009 dalam Healy and Wahlen 1999 earning management terjadi ketika manajemen menggunakan pertimbangannya dalam menyusun laporan keuangan yang dapat membuat mislead pada pemangku kepentingan mengenai kondisi mendasar yang ada dalam suatu perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar