Perkembangan
perspektif corporate governance berawal dari adanya agency model atau agency
theory. Dalam model teory agency,
principal yang bertindak sebagai pemilik perusahaan menyerahkan kewenangannya
kepada agen. Dengan adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan maka kedua pihak tersebut memiliki kepentingan berbeda. Hal ini
menimbulkan potensi konflik kepentingan antara pihak-pihak (principal dan agen)
dalam perusahaan. Coporate governance muncul untuk mengendalikan perilaku dalam
mengatasi konflik antara pihak-pihak dalam perusahaan. (Ndaruningpuri Wulandari
2006 dalam H.Meniek S. Prapti, 2003). Corporate governance merupakan
seperangkat mekanisme yang mempengaruhi
keputusan yang dibuat manajemen ketika terjadi pemisahan atas kepemilikan dan pengawasan (Amanita Novi
Yushita, Rahmawati&Hanung Triatmoko 2013 dalam Larcker dkk,1995). Menururt
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FGCI) definisi corporate
governance yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubugan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu system yang
mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan
nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Laba
merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja operasional
perusahaan. Informasi tentang laba untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan
bisnis dalam mencapai tujuan operasi yang ditetapkan (Wisnu Rupilu dalam
Parawiyati, 1996). Baik kreditur maupun investor dapat mengukur dan
mengevaluasi kinerja manajemen dengan mengguna kan laba, memperkirakan earning
power dan untuk memprediksi laba dimasa yang akan datang. Kualitas laba dapat
dilihat dari manfaat bagi pengambilan keputusan bisnis para pengguna laporan
keuangan mauoun dari core earnings (Schiper and Vincent, 2003). Sedangkan dalam
konteks riset akuntansi, pengukuran laba dititikberatkan pada manfaat bagi
pengambilan keputusan bisnis para pemakai laporan keuangan (Dechow dkk., 2009).
Laba yang kurang berkualitas bias terjadi karena dalam menjalankan bisnis
perusahaan, manajemen bukan merupakan pemilik perusahaan. Pemisahan kepemilikan
ini akan dapat menimbulkan konflik dalam pengendalian dan pengelolaan
perusahaan yang menyebabkan para manajer bertindak tidak sesuai dengan
keinginan para pemilik ( Dul Muid, 2009). Laporan keuangan merupakan salah satu
informasi kuantitatif yang dibuat oleh perusahaa. Salah satu laporan keuangan
yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan adalah laba. Laba
merupakan indicator yang dapat digunakan umtuk mengukur kinerja operasional
perusahaan (Dul Muid 2009 dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Dewan
komisaris menggambarkan puncak dari system pengendalian pada perusahaan. Peran
pengawasan oleh dewan komisaris ini diharapkan akan meminimalisir konflik
keagenan yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Penelitian
oleh Boediono (2005) yang menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kualitas laba dengan menggunakan
analisis jalur menemukan bukti bahwa dewan komisaris independen mempunyai
pengaruh yang positif terhadap kualitas laba. Strukur governance di Indonesia
memisahkan antara dewan komisaris dan dewan direksi. Jumlah dewan komisaris
independen yang disarankan adalah 20%
dari jumlah total dewan komisaris yang berasal dari luar pemilik atau kalangan
profesional. Berdasarkan UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, tugas dewan komisaris
adalah : (1) mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan, dan (2)
memberi nasehat kepada direksi direksi.
Komite
audit bertanggungjawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit
eksternal dan mengamati sistem pengendalian internal juga diharapkan dapat
mengurangi sifat opportunistic manajemen
yang melakukan manajemen laba (earnings management. Dalam rangka
penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good governance), Bursa Efek
Jakarta (BEJ) dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) melalui
Kep-339/BEJ/07-2001 mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki komite audit.
Komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang inependen
kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh
direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan
perhatian dewan komisaris.
Struktur
kepemilikan dalam suatu perusahaan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam
hal mengawasi atau memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya.
Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara
manajemen dan pemegang saham. Struktur
kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan
yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Kepemilikan perusahaan dan kepemilikan
institusional adalah dua mekanisme yang dapat mengendalikan masalah keagenan
yang ada di suatu perusahaan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
perusahaan adalah kepemilikan institusional. Adanya kepemilikan institusional
di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan agar lebih optimal
terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan
yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kinerja
manajemen. Penmgawasan yang dilakukan oleh investor institusional sangat
bergantung pada besarnya investasi yang dilakukan. Semakin besar kepemilikan institusi
keuangan maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan dari institusi
keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan
dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga
kinerja perusahaan akan meningkat. Pengaruh investor institusional terhadap
manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk
menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Kepemilikan institusional memiliki
kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara
efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba.
Menurut Boediono (2005) kepemilkan institusional memiliki kemampuan untuk
mengurangi intensif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui tingkat
pengawasan yang intens.
Kepemilikan
manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur
dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Struktur kepemilikan manajerial dapat
dijelaskan melalui dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan
ketidakseimbangan. Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan
manajerial sebagai suatu instrument atau alat yang digunakan untuk mengurangi
konflik keagenan diantara beberapa klaim terhadap sebuat perusahaan. Pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan manajerial
sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi
antara insider dengan outsider melalui pengungkapan
informasi didalam perusahaan. Meningkatkan
kepemilikan manajerial digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi
masalah yang ada di perusahaan. Dengan meningkatnya kepemilikan manajerial maka
manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya sehingga dalam hal ini
akan berdampak baik kepada perusahaan serta memenuhi keinginan dari para
pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka
manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen
mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi keinginan dari pemegang saham yang tidak
lain adalah dirinya sendiri. Manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil
suatu keputusan, karena manajemen akan ikut merasakan manfaat secara langsung
dari keputusan yang diambil. Selain itu manajemen juga ikut menanggung kerugian
apabila keputusan yang diambil oleh mereka salah. Hal
ini disebabkan karena jika tingkat kepemilikan manajeral tinggi, dapat
berdampak buruk terhadap perusahaan karena menimbulkan masalah pertahanan, yang
berarti jika kepemilikan manajerial tinggi, para manajer memiliki memiliki
posisi yang kuat untuk melakukan suatu kontrol terhadap perusahaan dan pihak
pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan
para manajer tersebut.
Ortega
dan Grant (2003) mengemukakan bahwa earnings manajemen dimungkinkan karena
adanya fleksibelitas dalam pembuatan laporan keuangan dalam rangka mengubah
hasil keuangan operasional suatu perusahaan. Dengan kata lain, Abdelghani dalam
Murhadi 2009 menjelaskan bahwa earnings
management merupakan manipulasi
pendapatan yang dilakukan untuk memenuhi target yang ditetapkan manajemen.
Earnings management dapat berfungsi positif bagi pemegang saham bilamana
praktik earnings management tersebut
dilakukan untuk menginformasikan hal-hal yang belum terkandung dalam laporan
keuangan perusahaan. Namun, disisi lain, earnings
management juga dapat digunakan oleh
pihak manjemen yang apat merugikan kepentingan pemegang saham seperti dalam
bentuk manipulasi kinerja agar memperoleh kontrak kerja dan kompensasi sehingga
akan muncul konflik keagenan antaa manajemen dan pemegang saham. Menurut
Murhadi 2009 dalam Healy and Wahlen 1999 earning
management terjadi ketika manajemen menggunakan pertimbangannya dalam
menyusun laporan keuangan yang dapat membuat mislead pada pemangku kepentingan mengenai kondisi mendasar yang
ada dalam suatu perusahaan.